(Mengubah Dendam Menjadi Damai)
Diceritakan kembali oleh:
Nasib TS
Tanjungmorawa merupakan salah satu kota kecamatan di Sumatera Utara yang mengalami perkembangan cukup pesat. Letaknya strategis di tepi Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) dan bertetangga dengan Kota Medan. Banyak industri penting tumbuh di daerah ini mulai industri pangan, barang pecah belah, mainan anak dan lainnya.
Komposisi penduduk yang berdiam di Tanjungmorawa berdasarkan suku sangat heterogen, Karo, Jawa, Batak, Mandailing, Melayu, Tionghoa, dan juga Banten. Sebagai kota kecamatan, Tanjungmorawa sangat luas sekitar 13.175 Ha atau 131,75 kilo meter persegi. Di dalamnya terdapat satu kelurahan dan 25 desa.
Dulu, ratusan tahun lalu, Tanjungmorawa hanyalah sebuah perkampungan kecil di tepi Sungai Belumai. Kampung kecil di daratan yang menjorok ke sungai Belumai itu bernama Kampung Pematang Panjang. Posisi pertapakan kampung yang menjorok ke sungai menjadikan Pematang Panjang mirip berada sebuah tanjung. Pada masa itu, sungai masih lebar dan menjadi jalur transportasi utama penghubung warga yang tinggal di pegunungan dengan warga yang tinggal di daerah pesisir. Sungai Belumai merupakan jalur lalu lintas perdagangan masyarakat Telun Kenas ke pelabuhan Rantau Panjang yang berada di daerah pesisir muara sungai. Biasanya warga atau para pedagang yang melintasi Sungai Belumai dari Tekunkenas ke Rantau Panjang atau sebaliknya, akan singgah di Pematang Panjang. Mereka singgah untuk sekedar istirahat melepas lelah dengan minum-minum kopi di warung atau berbelanja berbagai kebutuhan. Bagaimana asal mula Kampung Pematang Panjang berganti nama Tanjungmorawa? Begini ceritanya!
***
Seperti biasa perahu hilir mudik melintasi perairan Sungai Belumai. Beberapa perahu tampak singgah di sebuah tanjung kecil yang di atasnya terdapat sebuah kedai kopi yang cukup ramai pengunjung. Di tempat itulah biasanya para petani atau pedagang dari Talunkenas di hulu sungai menyandarkan perahu di tangkahan sebelum meneruskan perjalanan ke pasar Rantau Panjang di hilir sungai. Demikian pula para pedagang dari pasar Rantau Panjang yang hendak ke hulu, selalu singgah di tanjung Pematang Panjang untuk ngopi dan bertransaksi menawarkan kepada penduduk beragam mata dagangan.
Hari itu kedai kopi di tepi sungai itu mendadak geger. Mula-mula seperti terdengar pertengkaran beberapa pemuda sesama pengunjung. Petrengkarang semakin genting ketika salah seorang pemuda yang terlibat bertengkaran itu memangkat bangku kemudian membantingnya.
Ulah pemuda itu memancing keributan lebih besar karena melibatkan beberapa kelompok lainnya. Masing-masing membela kelompok lainnya. Kerusuhan pecah ketika perang kata-kata sudah tidak bisa didamaikan dan berubah menjadi kontak fisik. Mereka saling pukul, saling tendang dan terjang. Kedai kopi berantakan. Orang-orang di sekitarnya yang tidak terlibat dalam pertengkaran, mula-mula menjadi penonton. Lama-lama mereka satu persatu menyingkir karena takut menjadi sasaran amukan dua kubu pemuda yang sedang berkonflik.
Usut punya usut, mereka yang terlibat perkelahian adalah kelompok pemuda setempat dengan beberapa pemuda dari Telunkenas. Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan penyebab perkelahian dua kelompok itu. Apakah gara-gara rebutan gadis kembang desa, masalah perdagangan atau ketersinggungan lainnya. Dikisahkan, akhir dari perkelahian itu, para pemuda dari Talunkenas terdesak mundur. Mungkin kalah jumlah dari kelompok penduduk Pematang Panjang. Sekelompok pemuda dari Telunkenas itu memilih keluar menghindari pertengkaran lebih besar. Mereka pulang ke Telunkenas dan melaporkan peristiwa yang mereka alami kepada kawan-kawannya.
Mendapat laporan warganya mengalami penganiayaan dalam perkelahian itu, kepala kampung. Telunkenas marah. Mereka bersepakat kembali ke kedai kopi di ujung tanjung Pematang Panjang tepi Sungai Belumai itu dengan massa lebih banyak untuk melakukan balas dendam.
“Kita akan melakukan serangan balasan kepada mereka. Namun sebelum serangan dilaksanakan kita akan pelajari situasi dan menghitung kekuatan mereka. Saya mengutus lima orang di antara kalian untuk berangkat ke Pematang Panjang malam ini sebagai mata-mata dan mempelajari situasi. Sekala informasi yang kalian dapatkan selama pengamatan, laporkan pada kami,” kata kepala kampung.
Tidak menunggu waktu lama, kelima orang mata-mata itu bergerak menuju Pematang Panjang guna mengetahui situasi medan dan kekuatan lawan. Masyawarah yang dipimpin kepala kampung malam itu bubar. Warga menunggu kabar dari kelima orang utusan yang memata-matai situasi daerah sasaran penyerangan yang direncanakan.
***
Malam telah larut ketika lima warga Telunkenas sebagai utusan mata-mata tiba di Kampung Pematang Panjang yang mulai sepi. Kedai kopi tempat kejadian perkelahian pada siang tadi sudah tutup ditinggalkan para pengunjung.
Agar tidak diketahui orang gerak-gerik mereka, kelima mata-mata itu bersembunyi di dalam hutan. Di sana banyak rimbun pepohonan yang aman dan strategis dijadikan tempat pengintaian. Beberapa jam melakukan pengamatan situasi, kelima orang itu merasa letih dan mengantuk. Mereka kemudian merebahkan tubuh di bawah sebuah pohon yang rindang. Agar tubuh tidak kotor terkena tanah basah oleh embun, mereka memetik daun pohon itu untuk dijadikan alas tidur.
Tidak diduga sama sekali, baru beberapa menit badan direbahkan, tiba-tiba tubuh merasa gatal-gatal dan panas. Kulit terasa pedih dan timbul ruam-ruam kemerahan yang sangat menyakitkan. Belakangan diketahui daun tersebut adalah daun jelatang nyiru. Jelatang jenis ini memiliki daun yang paling gatal dan menyakitkan. Waktu itu, warga belum mengetahui ada sejenis tanaman yang memiliki efek menyengat bila tersentuh kulit.
Kelima utusan kepala kampung Telunkenas itu semakin panik karena rasa gatal yang menyerang makin meluas. Rasa gatal berubah menjadi rasa sakit akibat garukan tangan mereka. Semakin digaruk, semakin meluas rasa gatalnya dan semakin pedih. Mereka kemudian memutuskan menghentikan misi pengamatan dan kembali ke Telunkenas menjelang dinihari.
Mereka melaporkan kejadian itu dengan rasa sesal dan bersalah sembari menunjukkan tubuh mereka yang bentol-bentol kemerahan dengan rasa sakit dan gatal menyiksa.
“Maafkan kami karena gagal menjalankan misi kita, semua terjadi di luar rencana dan perhitungan kita. Sepertinya mereka sudah mengetahui gerak gerik kita dan memasang ranjau di mana-mana,” lapor salah seorang anggota tim yang diutus kepala kampung.
Kepala kampung tak habis pikir dan terus menyimak laporan kelima anak buahnya itu. “Karena itulah kami menyarankan agar penyerangan dibatalkan saja. Tampaknya warga Kampung Pematang Panjang sudah mengetahui rencana yang akan kita lakukan. Persiapan mereka sangat matang untuk menghadapi kita dengan segala cara, Termasuk melibatkan kekuatan besar dari dunia gaib. Lebih baik kita hentikan rencana kita daripada terkena bencana. Jangankan orangnya, pepohonannya saja sudah ‘merawa’kepada kita,” lanjutnya sambil meringis menahan pedih.
‘Merawa’ dalam konteks peristiwa yang dilaporkan itu, dalam bahasa Karo mengandung arti marah. Mereka menganggap mendapat kutukan dari alam akibat ulah mereka yang menyimpan dendam.
“Kalau alam tak berkenan, pepohonan pun bisa marah,” begitu pikir mereka.
Menyimak laporan kelima warganya yang diutus sebagai mata-mata, kepala kampung mengeluarkan keputusan yang amat bijaksana. Misi dendam diubah menjadi misi perdamaian.
“Baiklah, saya dapat memahami dan menerima laporan kalian. Nenek moyang kita tidak pernah mengajarkan permusuhan dan dendam terhadap sesama. Alam pun senantiasa mengajarkan kedamaian. Karena itulah, saya berpikir mengutus lima orang warga untuk kembali datang ke kampung di ujung tanjung Sungai Belumai itu untuk meminta maaf, sekaligus meminta obat penawar penyakit yang kalian diderita,”kata kepala kampung.
Pada siang harinya, kelima warga Telunkenas yang menderita gatal-gatal tadi diantar kepala kampung menemui warga Kampung Pematang Panjang di ujung tanjung Sungai Belumai. Kedatangan warga Telunkenas yang ingin berdamai disambut baik warga Pematang Panjang.
“Kami meminta maaf atas kesalahpahaman warga kami dengan warga di kampung ini yang terjadi kemarin. Kita hidup bertetangga, berdamai lebih baik daripada menyimpan dendam dan permusuhan,” kata kepala kampung.
Niat baik itu disambut warga Pematang Panjang dengan rasa gembira dan tulus menerima perdamaian yang ditawarkan. Mereka pun bersalaman, berpelukan dan saling memaafkan satu sama lainnya.
“Oiya, ada satu permintaan kami. Mohon disembuhkan warga kami yang menderita gatal-gatal setelah menyentuh daun pepohonan di tepi Sungai Belumai. Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami, tapi tolong jangan pasang ranjau di pohon sehingga pohon pun seakan ‘merawa’ pada kami,” kata kepala kampung dengan nada memohon sembari menunjukkan kelima warga yang sekujur tubuhnya merah-merah gatal terkena sengatan daun jelatang.
Menyimak permintaan kepala kampung Telunkenas, warga kampung Pematang Panjang kemudian memperhatikan dengan seksama tubuh kelima orang yang gatal-gatal itu. Sesaat kemudian mereka tertawa bersama-sama.
“Bapak kepala kampung, ruam-ruam merah gatal di tubuh saudara kami ini bukan kena ranjau yang kami pasang di pohon untuk mencelakai orang, kami tidak melakukannya,” kata salah seorang warga Pematang Panjang berusaha menjelaskan.
“Dilihat ciri-ciri dan gejala yang ada, saudara kami dari Telunkenas ini tersengat daun jelatang nyiru yang banyak tumbuh di tepi Sungai Belumai. Warga di sini juga sering terkena sengatan daun jelatang bila tidak berhati-hati,” imbuh warga Pematang Panjang.
“Begitukah? Maafkan kami sudah salah sangka. Kalau begitu, bagaimana cara menyembuhkannya?” tanya kepala kampung.
Warga Pematang Panjang kemudian dengan senang hati memberi tahu penawar sengatan jelatang nyiru.
“Obat penawarnya cukup mudah, bapak kepala kampung. Cukup dengan menggosok-gosokkan tanah ke bagian yang gatal,” kata warga sambil mempraktikkan kepada tamunya yang terkena gatal-gatal.
Tak lama kemudian, kelima warga Telunkenas yang menderita gatal-gatal berangsur pulih dan sembuh. Mereka kemudian tertawa bersama-sama mengenang peristiwa tersengat daun jelatang yang semula dikira sebuah kutukan.
“Silahkan minum kopinya pak kepala kampung dan saudara semua,” kata pemilik kedai kopi Kampung Pematang Panjang yang terletak di tepi tanjung Sungai Belumai.
Hari itu, pemilik kedai menjamu kopi warga dua kampung yang sedang berdamai. Pemilik kedai kopi merasa senang karena perdamaian itu membawa dampak positif bagi kedaainya yang menjadi tempat persinggahan warga yang melintas dari berbagai kampung di hulu dan hilir Sungai Belumai.
Peristiwa di balik perdamaian monumental yang mengesankan itu, menjadi cerita yang berkembang dari mulut ke mulut dan tidak hilang dari ingatan warga. Salah satu cerita yang paling diingat adalah anggapan pohon yang ‘merawa’ atau marah kepada lima mata-mata, Tak disangka, anggapan itu pula yang kemudian mengubah misi dendam menjadi misi perdamaian. Lama-lama kata “merawa” menjadi akrab dan sering disebutkan oleh pengunjung kedai kopi di ujung tanjung Sungai Belumai itu. Tempat itu kemudian lebih dikenal sebagai Tanjung Merawa. Kepopuleran nama Tanjung Merawa mengalahkan Kampung Pematang Panjang yang menjadi nama resmi desa itu. Sejak saat itu Kampung Pematang Panjang berganti nama menjadi Kampung Tanjung Merawa.
Pada masa penjajahan, Belanda masuk ke Tanjung Merawa guna membuka perkebunan tembakau dan karet. Pada saat itu lidah orang Belanda agak sulit mengucapkan kata ‘merawa’. Mereka mengucapkan kata ‘merawa’ menjadi ‘morawa’ sehingga kata ‘Tanjung Merawa’ pada zaman kolonial lebih sering diucapkan sebagai ‘Tanjungmorawa’ menyesuaikan dengan lidah orang Belanda. Dan penyebutan nama daerah “Tanjungmorawa” dipakai masyarakat sampai sekarang. (*)